MATAMEDIAONLINE.COM – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, baru-baru ini melontarkan pernyataan kontroversial yang menyulut perdebatan di kalangan insan pers. Dalam tayangan di media sosial, Dedi menyebut kerja sama pemerintah dengan media pers sebagai bentuk pemborosan anggaran. Ia justru menyarankan pemerintah untuk lebih mengandalkan media sosial yang dianggap lebih murah dan langsung menjangkau masyarakat.
Namun, pernyataan itu langsung menuai reaksi keras dari sejumlah kalangan. Banyak pihak menilai bahwa Dedi mengabaikan peran strategis media pers sebagai pilar demokrasi dan penjaga kualitas informasi publik.
Media Sosial Bukan Solusi Tunggal
AYS Prayogie, Pemimpin Redaksi Hitvberita.com sekaligus Ketua Umum Media Independen Online (MIO) Indonesia, menanggapi keras pernyataan Gubernur Dedi. Ia menyatakan bahwa membandingkan media sosial dan media pers tanpa mempertimbangkan regulasi jurnalistik merupakan kesalahan besar.
“Media pers menjalankan mekanisme verifikasi yang ketat sesuai UU No. 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik. Setiap informasi yang kami sampaikan sudah melewati proses konfirmasi dan validasi,” tegas Prayogie.
Baca juga: Sambut HANI 2025, MIO Indonesia dan LCW Magazine Siap Gelar Seminar Bahaya Narkoba
Ia menjelaskan bahwa media sosial memungkinkan siapa pun mengunggah konten tanpa verifikasi, sehingga media sosial rawan menyebarkan informasi keliru atau hoaks.
“Media sosial memang lebih murah dan mudah, tetapi risikonya juga tinggi,” tambahnya.
Baca juga: MIO Indonesia Kukuhkan Pengurus Baru, Pertegas Komitmen Profesionalisme di Era Digital
Kualitas, Jangkauan, dan Interaksi
Prayogie juga menyoroti kualitas konten yang dihasilkan media pers digital. Ia menegaskan bahwa jurnalis menyusun informasi secara naratif, berimbang, dan akurat. Di sisi lain, konten media sosial bergantung pada siapa pengunggahnya, dan lebih mengutamakan keterlibatan pengguna ketimbang kebenaran informasi.
Ia menjelaskan bahwa jangkauan media sosial memang cepat, tetapi algoritma dan jumlah pengikut sering membatasi distribusinya. Sebaliknya, media pers digital tetap dapat menjangkau masyarakat luas dengan akses internet yang memadai.
Baca juga: Sinergi Media: MIO Indonesia Jakarta Barat Gelar Silaturahmi dan Diskusi Jurnalistik
Untuk aspek interaksi, media sosial memungkinkan komunikasi dua arah secara langsung, namun media pers menyediakan ruang tanggapan yang telah melalui proses kurasi agar tetap berkualitas.
“Pemerintah tidak bisa sekadar mempertimbangkan biaya dan kecepatan. Mereka juga harus memperhitungkan kualitas serta kredibilitas informasi yang disampaikan ke publik,” ujar Prayogie.
Efisiensi yang Bijak, Bukan Murahan
Menurut Prayogie, efisiensi anggaran bukan alasan yang tepat untuk memutus kerja sama dengan media pers. Ia menyarankan pemerintah agar memadukan kekuatan media sosial dan media pers secara strategis.
“Pemerintah bisa mengoptimalkan keduanya. Gunakan media sosial sebagai saluran cepat dan langsung, sementara media pers bertugas menjaga akurasi dan meluruskan informasi,” sarannya.
Ia juga mengingatkan bahwa penggunaan media sosial tanpa pengawasan berpotensi merusak kualitas demokrasi.
“Jika pemerintah menyederhanakan informasi menjadi narasi satu arah, publik akan kehilangan perspektif berimbang,” tegasnya.
Menjaga Prinsip Jurnalisme dalam Komunikasi Publik
Prayogie menekankan bahwa media pers berperan lebih dari sekadar penyebar informasi. Ia menyebut media sebagai mitra kritis yang membantu pemerintah menjaga transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik.
“Isu efisiensi anggaran dalam komunikasi publik seharusnya tetap berlandaskan prinsip jurnalisme. Masyarakat berhak mendapat informasi yang benar, berimbang, dan dapat dipertanggungjawabkan,” tuturnya.
Ia pun menutup pernyataannya dengan pesan tajam, “Masalahnya bukan soal pemborosan anggaran, tapi apakah anggaran digunakan secara tepat. Informasi yang salah bisa jauh lebih mahal biayanya dalam jangka panjang.”
