MATAMEDIAONLINE.COM – Pengadilan Negeri Simalungun kembali menunda sidang lanjutan perkara dugaan penggelapan dengan terdakwa berinisial HS pada Senin, 19 Mei 2025. Jaksa Penuntut Umum (JPU) gagal menghadirkan saksi yang seharusnya memberikan keterangan di persidangan.
Saksi yang tidak hadir merupakan pembeli besi tua—objek utama dalam perkara ini—yang kuasa hukum terdakwa nilai sebagai sosok kunci dalam mengungkap fakta.
Tuttik Rahayu, selaku kuasa hukum HS, mengecam ketidakhadiran saksi tersebut dan mempertanyakan komitmen JPU dalam mengungkap kebenaran secara utuh.
“Saksi pembeli adalah pihak yang melakukan transaksi, tapi tidak pernah ditetapkan sebagai tersangka atau penadah. Ini menimbulkan pertanyaan serius,” tegas Tuttik usai sidang.
Baca juga: Puguh Kribo Kuasa Hukum JOFU Ajukan Gugatan Pembeli Tanah ke PN Jaksel
Perkara ini bermula dari sengketa warisan keluarga yang berlangsung selama lebih dari tiga dekade. HS, dalam kapasitasnya sebagai kuasa hukum ahli waris bernama Marwati, berhasil menyelesaikan konflik tersebut secara hukum. Namun, Mariana—pihak lain dari keluarga yang menguasai aset warisan—melaporkan HS atas dugaan penggelapan hasil penjualan besi tua.
Baca juga: Kasus Warisan Berujung Hukum, Tim Hukum: Horas Bertindak Sesuai Kuasa dan Kesepakatan
Tuttik menjelaskan bahwa kliennya bertindak berdasarkan Surat Kuasa sah yang ditandatangani di hadapan notaris. Bahkan, menurutnya, pelapor sendiri menyetujui penjualan tersebut dan menggunakan hasilnya untuk merenovasi ruko miliknya.
“Persidangan sejauh ini tidak menunjukkan adanya batang besi tua yang dijadikan barang bukti. Objek transaksi pun tidak pernah dipasangi garis polisi,” ungkap Tuttik.
Pihak kuasa hukum menduga pelaporan ini bertujuan untuk mengkriminalisasi HS, sekaligus menghindari kewajiban membayar kompensasi atas jasa hukum yang telah ia berikan dalam menyelesaikan sengketa keluarga.
Tuttik menyerukan agar proses hukum berjalan secara objektif dan bebas dari tekanan eksternal, serta menjunjung tinggi asas keadilan dan persamaan di hadapan hukum. Ia juga mengingatkan bahwa hukum pidana seharusnya menjadi jalan terakhir (ultimum remedium) dalam penyelesaian sengketa yang bersifat perdata.[mmo]